Halaman

Kamis, 14 Januari 2010

PENDIDIKAN SENI (RUPA) VS PASAR

Hari-hari belakangan ini dunia pasar seni rupa (lukis) sibuk membincangkan seni rupa (lukis) kontemporer China. Bukan hanya mutu karyanya yang dibincangkan, tetapi yang lebih seru karya-karya itu diperebutkan oleh para pemain di medan pasar. Para pemain itu terdiri dari para kolektor, art dealer, broker, dan sebagainya. Medan perebutan itu terjadi di sejumlah galeri dan lelang. Pendeknya, kini terjadi booming seni lukis China.

Booming itu membuat mata dan telinga para pemain di medan pasar terus mendeteksi apa yang terjadi hari ini dan kemudian. Mereka terus memerhatikan perkembangan kecenderungan karya yang diburu dan kecenderungan kisaran harga yang terus-menerus memperlihatkan perubahan. Bahkan, perubahan itu ada banyak yang mengejutkan, melompat puluhan kali dari estimasi harga semula.

Maka, tidak aneh, kalau sekarang nama-nama sejumlah pelukis kontemporer China semacam Fang Lijun, Yue Minjun, Yang Shiaobin, Zhang Xiaogang, Wang Guangyi menjadi menu utama obrolan para pemain di medan pasar.

Sementara itu, dunia pasar, akhir-akhir ini juga sibuk membincangkan sejumlah nama yang mereka kategorikan pelukis kontemporer Indonesia. Nama-nama seperti Agus Suwage, Putu Sutawijaya, Rudi Mantofani, Yunizar, Handiwirman Saputra, Budi Kustarto, Pupuk DP, Jumaldi Alfi, Nyoman Masriadi, dan Agapetus Kristiandana belakangan ini tampak ramai dibicarakan.

Ini lantaran karya-karya mereka begitu mudah terjual di galeri maupun di lelang. Harganya terus memperlihatkan kecenderungan melesat ke atas. Sebuah lukisan karya Putu Sutawijaya (L. 1971) bertajuk Looking for Wings, misalnya, di lelang Sotheby’s Singapura akhir April lalu mencetak hammer price sekitar Rp 560 juta. Ini sebuah angka yang fantastis. Dikatakan fantastis karena angka itu memasuki wilayah harga (price area) lukisan karya S Soedjojono, Affandi, Hendra Gunawan, Lee Manfong, Srihadi Soedarsono, dan Sunaryo yang telah lama menjadi ikon di hampir setiap sesi lelang.

Fenomena seperti itu mendorong galeri-galeri semakin sibuk menawarkan agenda pameran bagi karya-karya mereka. Begitu juga para pemburu lukisan tidak kalah sibuk mendapatkan karya mereka untuk dijadikan ikon di lelang. Para pemain pasar itu terus bergerak cepat karena mereka menyadari gejolak pasar bisa berubah-ubah setiap saat.

Tentu saja fenomena pasar yang begitu besar itu mengindikasikan adanya pergerakan kapital yang susah dibilang kecil. Bayangkan, setiap satu sesi lelang di Indonesia saja rata-rata omzetnya sekitar Rp 10 miliar-Rp 20 miliar. Di Indonesia ada tujuh balai lelang, yang rata-rata tiap tahun masing-masing balai lelang menyelenggarakan dua kali sesi lelang. Ini belum transaksi yang terjadi di galeri-galeri.

Hitung-hitungan kasar, kapital yang beredar di lelang dan galeri tiap tahun di Indonesia berkisar Rp 0,5 triliun-Rp 1 triliun. Ini belum ditambah uang yang dibelanjakan oleh para pemain pasar dari Indonesia di forum lelang Christie’s, Sotheby’s, Larasati, Borobudur, yang digelar di Singapura. Di forum ini rata-rata setiap satu sesi lelang omzetnya sekitar Rp 30 miliar-Rp 50 miliar. Balai lelang Borobudur, misalnya, membukukan hasil lelang (total) sekitar Rp 30-an miliar di sesi lelang yang digelar di Singapura 28 April lalu.

Gemuruh pasar yang demikian besar tersebut seperti mewartakan paradoks, ketika kita mencoba menanyakan kontribusinya bagi perkembangan supra dan infrastruktur pendidikan seni (rupa) di Indonesia. Di saat dunia pasar memamerkan pundi-pundi kapitalnya, dunia pendidikan seni justru tengah ngos-ngosan mempertahankan eksistensinya. Di wilayah ini kita, misalnya, sering mendengar berita pilu sejumlah program studi seni murni animonya merosot tajam. Berita ini belum ditambah berita seputar kecilnya dana untuk mengoperasikan pendidikan seni, jurnal seni yang terancam bangkrut lantaran tidak ada dana yang memadai, penelitian seni yang dibayang-bayangi ciutnya dana. Inilah sebabnya, kenapa posisi tawar pendidikan seni di satu pihak dan pasar di pihak lain terasa jomplang. Bagaimana mungkin pemikiran seni dapat dijadikan referensi dalam medan seni (art world) secara kuat, kalau supra dan infrastruktur pendidikannya begitu rapuh? Bagaimana mungkin infrastruktur pendidikan seni yang dananya sangat kecil dapat berkomunikasi lantang di tengah arus pasar yang bergelimang kapital?

Padahal, kita tahu, dunia pasar yang kuat harus diimbangi dengan dunia wacana yang kuat. Dunia wacana yang kuat hanya bisa lahir dari infrastruktur pendidikan seni yang kuat, yaitu melalui kajian-kajian yang mendalam, obyektif, dan netral dari berbagai kepentingan pragmatis (pasar). Tanpa ini, yang terjadi adalah semacam gerak materialisme sejarah seni.

Ia merupakan bentuk dialektika sejarah yang bergerak atas dominasi para pemilik kapital (borjuis) terhadap para pekerja seni (perupa, kurator, kritikus, peneliti, dan sebagainya). Ideologi yang dibawa para pemilik kapital lebih diwarnai oleh ideologi pasar dengan semangat komodifikasi seni secara besar-besaran. Akibatnya, pasar terlampau kuat dan dominan sehingga ia dapat merekayasa apa saja yang ia mau, tanpa ada domain kritik yang mengkritisinya. Celakanya, itu kini tengah terjadi di tengah dunia seni rupa Indonesia.

Dengan fenomena tersebut, sekali lagi, marilah kita melihat fenomena seni rupa kontemporer China sebagai bandingan. Kenapa seni rupa kontemporer China cepat melesat menjadi isu dunia? Jawabnya tidak lain dan tidak bukan adalah supra dan infrastruktur pendidikan seni di China demikian kuat. Perupa-perupa kontemporer China yang namanya saat ini ramai dibincangkan hampir semuanya produk lembaga pendidikan seni di seantero China. Fang Lijun, misalnya, ia lulusan Central Academy of Fine Art di Beijing. Shen Xiaotong lulusan Painting Department of the Sichuan Art Academy of Fine Arts. Wang Guangyi lulusan dari The Oil Painting Department of Chinese Academy of Fine Arts, dan masih banyak lagi.

Lembaga pendidikan seni (rupa) di China konon dibangun berdasarkan atas strategi budaya China yang ingin menjadi pusat peradaban dunia pascaperistiwa Tiananmen. Dari sinilah banyak orang China yang potensial dikirim ke sejumlah negara maju (Amerika dan Eropa) untuk mengkaji ilmu secara besar-besaran. Sepulang dari studi, mereka langsung diserahi tugas untuk mengembangkan kemampuannya melalui berbagai lembaga pendidikan dengan fasilitas yang sangat memadai. Dosen-dosen dan guru-guru diberi beasiswa untuk kaji banding di berbagai negara. Mereka mengikuti semacam kuliah pendek atau berbagai pelatihan (workshop) dan banyak di antaranya mengambil program master maupun doktor. Seorang dosen seni rupa dari Guang Zhou, China, pernah bercerita ke penulis bahwa dosen-dosen seni rupa di China rata-rata mendapatkan kesempatan melihat-lihat museum dan galeri di luar negeri satu sampai dua kali setahun.

Apa yang terjadi kemudian mudah diramalkan. Berbagai perupa bermutu lahir dari kancah pendidikan, buku-buku seni rupa China berlimpah ruah, penulisan artikel, kritik, dan kajian-kajian ilmiah tumbuh subur. Dari lembaga ini juga bermunculan para penulis atau kurator andal yang siap mengantar seni rupa China menjadi isu dunia. Sekali lagi, mereka sadar bahwa imperium industri seni yang saat ini tengah diuar-uarkan tidak akan mungkin berakar kuat tanpa keterlibatan dan kesiapan infrastruktur pendidikan seni yang kuat.

Dunia pasar yang baik dan cerdas hanya mungkin dibangun dalam jaringan medan sini yang seimbang dan saling mendukung. Dari China itulah kita meski belajar bagaimana mendesain masa depan seni rupa di Indonesia.

Ya, walaupun lembaga pendidikan seni (rupa) kita tampak compang-camping, tetapi dari situ berbagai figur perupa yang akhirnya menorehkan nama besar dilahirkan. Dari lembaga ini pula kita dapat menelusuri sejarah transformasi seni rupa modern/kontemporer. Kontribusinya jelas, tetapi keberadaannya kerdil di tengah gemuruh pasar.

Padahal, dunia pasar juga menyadari bahwa karya-karya yang diperebutkan itu merupakan karya dari para perupa yang lahir dari kancah pendidikan seni (rupa) di negeri ini. Bayangkan, andaikata Handiwirman, Rudi Mantofani, Yunizar, misalnya, tidak pernah bersekolah di ISI Yogyakarta, kita mungkin sulit membayangkan arah nasib karier kesenimanan mereka.

Djuli Djatiprambudi Kurator Seni Rupa

2 komentar:

  1. berarti seni merupakan barang taruhan yang tidak muda untuk di perebutkan oleh pelukis dari dalam maupun luar negri

    pendidikan seni rupa di dalam maupun di luar negri tidak ada bandingannya semua sudah di setarahkan

    sekarang lihat orang yang menggeluti seni rupa itu sendiri apabila orang itu maen-maen orang itu tidak akan berhasil dan itu pun sebalik nya

    dunia pasar yang baik adalah antara indonesia vs china harus seimbang dan saling mendukung
    apabila salah satu tidak mendukung persaingan pasar tidak dapat berjalan lancar dan itu pun sebalik nya
    padahal dunia pasar menyadari bahwa karya yang di rebutkan itu merupakan hasil karya negri sendiri bandaikan indonesia tidak mempunyai seniman negara kita akan ketingalan dengan negara-negara lain


    nama ;lisa mulya wardani
    kelas; X-4
    no ; 19
    SMA NU 1 GRESIK

    BalasHapus
  2. kalau kita bicara tentang lukisan tentu kita tidak pernah untuk berkarya. karena lukisan adalah batas ambang rasional dengan imajinasi.kita sering melakukan kegiatan yang menurut kita dahsyat padahal itu semua adalah diri kita sendiri. maka jangan pernah untuk mengomentari diri sendiri.

    BalasHapus

Anda Mencari Apa ?