Halaman

Rabu, 06 Januari 2010

Nanang Fahrudin : KETIKA MELUKIS DIMAKNAI SEBAGAI IBADAH

Dunia seni rupa di Gresik boleh di bilang tidak ramah, karena tidak ada galeri atau gedung kesenian. Namun, bukan berarti proses kreatif berkarya para pelukis Gresik berhenti begitu saja. Buktinya, masih banyak pelukis yang menghasilkan karya dan dipamerkan di gedung kesenian di Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta. Salah satu dari mereka adalah Kris Adji AW. Pelukis beraliran surealisme ekspresif ini sudah menghasilkan ratusan karya dan beberapa kali menggelar pameran tunggal sejak tahun 1980. Dan saat ini, pria berusia 45 tahun ini tengah bersiap-siap menggelar pameran tunggal di gedung Dewan Kesenian Surabaya (DKS) Surabaya. “Mungkin akan ada 30 lukisan yang akan saya bawa,” ujarnya saat ditemui di galeri sekaligus rumahnya di Jl. Usman Sadar, Gresik.
Melukis bagi guru SMA NU 1 Gresik ini, merupakan sebuah ibadah untuk mengkritik semua kebobrokan kemanusiaan yang kini menggejala di bumi Indonesia. Tak heran jika di setiap karya di atas kanvas terinspirasi oleh lingkungannya. Ia mencontohkan karya Tarian Jiwa yang menggambarkan orang kecil (wong cilik) yang berusaha menikmati hidupnya di tengah keterpurukan. “Bagi rakyat kecil, penderitaan dan kebahagiaan itu kan sangat tipis pembatasnya. Kadang sama saja,” tutur lulusan IKIP Surabaya jurusan Seni Rupa ini.
Beberapa lukisannya yang menggambarkan kehidupan masyarakat bawah adalah, Tarian Hitam Putih, Suara Mereka Pun Sama, Kasih Ibu dan beberapa lainnya. Khusus untuk lukisan Kasih Ibu, mencoba menggambarkan kepedihan ibu yang menggendong anaknya yang sudah mati terkena gelombang tsunami. “Setiap saya melukis, pasti berisi kritik sosial masyarakat di sekitar saya,” tutur Kris.
Lukisan-lukisan itu, bagi ketua bidang pendidikan dan pengembangan Dewan Kesenian Gresik (DKG) ini, bukan dinilai dari besar-kecilnya lukisan. Melainkan makna dan proses kontemplasi yang menyertai proses penciptaan sebuah karya. “Saya bisa melukis dalam waktu satu jam. Tapi komtemplasinya bisa setahun,“ terangnya.
Pandangannya tentang melukis adalah beribadah itulah yang menjadikan lukisannya mempunyai makna kritik sosial. Ia tidak memperdulikan orang lain akan mendengar “jeritannya” melalui karyanya atau tidak. Karena ia berharap nilai-nilai kebersamaan dan memegang prinsip seperti yang ditunjukkan saat anak-anak bermain bisa ditularkan pada yang dewasa.
Namun saat ditanya bagaimana menilai rancangan UU anti pornografi dan pornoaksi (APP) yang kini telah ramai diperbincangkan, Kris AW mengatakan menolaknya. Karena moral tidak perlu diundangkan, melainkan dikembalikan kepada masyarakat. Bahkan jauh sebelum perdebatan soal pornografi, pelukis asli kota Pudak ini sudah menghasilkan karya lukis berjudul Negeri Bokong. “Inul itu kan hanya letupan saja. Karena sebelumnya sudah banyak bokong-bokong di negeri ini,” tegasnya.
 Nanang Favhrudin, lahir 28 Mei 1979. Alumni UNMUH Malang. Seorang jurnalis yang tinggal di Bojonegoro. Sekarang bekerja di Koran Seputar Indonesia (SINDO) setelah dari JATIM MANDIRI.
(Tulisan ini pernah di muat di Harian JATIM MANDIRI, 16 Mei 2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anda Mencari Apa ?